GUMAY NIAN PO...!

29 Mar 2011

TEHASAHAN


Gambaran kejujuran,kasih sayang dan keikhlasan (puyang lebi). Hanya ada di ayik lim besar dan ayik lim kecik Terbuat dari tabung bambu yang di pasang pada malam hari (malam-malam tertentu disaat bulan lagi terang dan air sungai lim lagi surut), diletakkan diantara air dan daratan,ikan-ikan seperti seluang dan piehek akan melompat dengan sendirinya kedalam tabung bambu.








12 Mar 2011

Sriwijaya Sang Pemula

... berlayar tidak lebih 20 hari dari Kanton ke Fo-shi (San-fo-tsi), singgah di sana selama enam bulan untuk mempelajari
tata bahasa Sanskerta dan Mahayana, kemudian pergi ke India Tengah dengan kapal Sriwijaya..." (I-Tsing, 671-695
Masehi)

Perahu sudah ditambatkan. Kaki-kaki kecil anak-anak desa itu begitu lincah menapaki kayu-kayu gelondongan
berdiameter 30-40 cm yang bergeletakan di bibir sungai. Di depan, bekas hutan ulin dan tembesu yang sudah berubah
jadi semak belukar menyerkap pandangan.

Didampingi Husin (69) sebagai penunjuk jalan, Nurhadi Rangkuti masih saja asyik menyimak setiap detail cerita Husin
tentang tempat yang ia datangi. Sebuah kawasan lahan basah di pantai timur Sumatera Selatan, bagian dari gugus
daerah aliran Sungai Musi yang bermuara ke Selat Bangka, tempat para arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang
melakukan serangkaian penelitian sejak beberapa tahun terakhir.

”Inilah tempat yang dinamakan kapal itu. Menurut cerita orang-orang tua dulu, entah berapa abad lampau, konon kapal
milik juragan Dempu Awang kandas dan akhirnya terkubur di sini,” kata Husin (67) begitu tiba di lokasi yang dituju.

Nurhadi sejurus tercenung. Senyumnya menghilang. Kisah Husin—yang kerap bercampur dongeng dan mitos tentang
sebuah kapal kuno yang telah berabad-abad terkubur tanah berlumpur—tampak tidak lagi menarik perhatiannya.

Di sisi utara pokok pohon tembesu yang hanya tinggal bonggolnya, sebuah lubang besar bekas galian menganga. Tak
pelak lagi, di lokasi yang dikabarkan pernah ditemukan mangkuk keramik dan tempayan dari Dinasti Yuan (1279-1368)
tersebut, ternyata aktivitas penggalian liar oleh para pencari harta karun diam-diam masih terjadi.

Tradisi Asia Tenggara

Bagi kalangan arkeolog seperti Nurhadi, informasi menyangkut keberadaan ”bangkai” kapal kuno di pesisir pantai timur
Sumatera Selatan—juga Pulau Bangka, terutama di Bangka selatan, dan wilayah Jambi—selalu menarik perhatian.

Dalam konteks keberadaan Sriwijaya (abad VII-XIII) sebagai kerajaan maritim pertama yang menguasai laut Nusantara,
khususnya di bagian barat hingga tanah Semenanjung, ”bangkai-bangkai” kapal kuno itu bisa jadi bukti penguat. Paralel
dengan isi kronik-kronik China serta risalah para musafir Arab dan Persia yang sebelumnya menjadi satu-satunya sumber
acuan tentang kebesaran Sriwijaya sebagai penguasa ”Laut Selatan”.

Sejak paruh kedua 1980-an, di wilayah Sumatera Selatan saja sudah ditemukan sejumlah situs terkait keberadaan kapal
dan atau perahu kuno. Dari situs Samirejo di Kecamatan Mariana, Banyuasin (sekitar 14 kilometer timur laut Palembang),
misalnya, didapati sisa-sisa perahu kuno dari masa 610-775 Masehi. Pertanggalan itu diperoleh dari uji karbon (C-14)
atas sisa-sisa bagian perahu, yang sewaktu ditemukan terkubur di rawa, terdiri atas sembilan papan kayu dan sebuah
kemudi sepanjang 23 meter, beserta serpihan tali ijuk (Arrenga pinnata).

Berdasarkan teknik rancang bangunnya, hasil rekonstruksi yang dilakukan Pierre-Yves Manguin—ahli arkeologi maritim
dari EFEO (Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh)—menunjukkan bahwa perahu kuno dari Samirejo
menggunakan apa yang ia sebut teknologi tradisi pembuatan perahu Asia Tenggara. Teknik yang sama juga terlihat pada
temuan sisa-sisa perahu kuno di situs Kolam Pinisi dan Sungai Buah (Palembang), Tulung Selapan (Ogan Komering Ilir),
Karangagung Tengah (Musi Banyuasin), serta Lambur (Jambi) dan Kota Kapur (Bangka).

Berbeda dengan teknologi perahu kuno model China, di mana lambung perahu dikencangkan dengan bilah-bilah kayu
dan paku besi pada kerangka dan dinding penyekat, pada tradisi perahu Asia Tenggara menggunakan apa yang disebut
teknik papan-ikat dan kupingan-pengikat (sewn- plank and lashed-lug technique). Teknik rancang bangun perahu seperti
ini, menurut Manguin, hanya berkembang di perairan Asia Tenggara.

Tonjolan segi empat (tambuku) digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading.
Pengikatnya berupa tali ijuk yang dimasukkan pada lubang di tambuku. Untuk memperkuat ikatan tali ijuk digunakan
pasak kayu.

Teknik pembuatan perahu jenis ini diperkirakan sudah ada sejak masa awal Masehi. Bukti tertua penggunaan teknik ini
dijumpai pada sisa perahu kuno di situs Kuala Pontian di Tanah Semenanjung, yang berasal dari abad III-V Masehi.

Sangat boleh jadi, ketika Dapunta Hyang Sri Jayanasa melakukan perjalanan suci (mangalap siddhayatra) untuk mencari
tempat mendirikan wanua (perkampungan) sebagai cikal bakal pusat Sriwijaya, perahu jenis inilah yang ia gunakan
bersama ”... dua laksa tentara dan 200 peti perbekalan”-nya. Fragmen perjalanan suci yang berakhir pada pendirian
wanua di lokasi Palembang sekarang itu ditorehkan pada prasasti Kedukan Bukit bertarikh 16 Juni 682 Masehi.

Penguasa laut Nusantara

Naik kapal Sriwijaya! Begitulah pengakuan I-Tsing, pengelana dari daratan Tiongkok, yang dalam perjalanan religiusnya
dari Kanton ke India menggunakan armada kapal Sriwijaya. Dalam perjalanan pulang dari Nalanda (India) ke Kanton, I-
Tsing bahkan sempat menetap empat tahun di pusat Kerajaan Sriwijaya.


4 Mar 2011

ANAK MALAM KELAMBEEET......!


Kubaru keluar malam
Setelah sunset tenggelam
Kuselalu keluar malam
Waktu langit mulai menghitam

Siang terlalu terang
Dan mataku nggak senang

Sarapannya tengah malam
Breakfast, dinner sekaligus lunch
Belajarnya malam-malam
Nongkrong di warung 24 jam
Siang terlalu panas
Aku terlalu malas

Kami memang anak malam
Nggak punya pekerjaan
Maklum cuma penggangguran
Belum dapat pengakuan

Malu keluar siang
Ketemu banyak orang

Pengen jadi seniman
genjrang-genjreng nggak karuan
Nggak ada yang kesampaian
Malah dapat maki dan omelan

Siang sangatlah panas
Takut bikin beringas

Cuma diwaktu malam
Orang pada merem dan diam
Cuma disaat malam
Hatiku jadi tentram

Siang terlalu ramai
Aku jadi nggak santai

Nenek Moyangku Seorang Pelaut


                                 

                                    ket : relief borobudur kapal samudra raksasa




Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa


Sepenggal bait lagu tersebut tampaknya sudah biasa kita dengar. Dari lagu itu kita dapat membayangkan bahwa kita memiliki nenek moyang pelaut, yang gagah dan pemberani. Indonesia memang dikenal sebagai bangsa maritim, paling tidak karena sejak zaman dahulu penduduk di kepulauan nusantara ini dikenal sebagi pelaut dan juga karena wilayah laut Indonesia lebih luas dibandingkan wilayah daratannya.

Keberanian dan ketangguhan itu, mereka buktikan jauh sebelum Columbus menyeberangi Samudra Atlantik dan menemukan benua baru Amerika pada tahun 1492 atuau Fasco da Gama pada tahun 1498 yang mulai menjelajahi dunia timur dengan panji-panji juspatronatus yang dikeluarkan Tahta Suci pada 4 Mei 1493. Para pelaut Indonesia biasa menggunakan perahu yang tak bisa dikatakan besar. Sebagai penyeimbang, mereka memakai cadik, baik yang ganda maupun yang tunggal. Bahka kapal-kapal bercadik tunggal tak hanya untuk pelayaran antar pulau di Indonesia, tetapi untuk berlayar ke India dan Madagaskar. Dalam pelayarannya ke Timur, para pedagang-pelaut Nusantara di jaman bahari bisa mencapai Hawai dan selandia Baru yang berjarak lebih dari 2.000 mil.

Akan tetapi masa kejayaan pelaut Indonesia-pun tinggal kenangan manis. Banyak orang meyakini bahwa relief kapal di Candi Borobudur tersebut adalah gambaran perahu yang digunakan pedagang-pedagang Indonesia menyebrangi samudra hingga ke Afrika. Menuru J. Innes Miller (The Spice Trade of the Roman Empire), kapal-kapal orang Indonesia pada abad ke 8 dilengkapi dengan cadik seperti yang terpahat di dinding candi di Jawa Tengah itu.


                                          
Lanchara Kapal Perang sriwijaya kalau tidak salah bisa mengangkut 300 orang prajurit sekaligus.
(kaskus)



Phinisi Nusantara :mencatat pelayarannya yang bersejarah saat berhasil menyeberangi samudera Pasifik untuk menuju Vancouver, Kanada. Samudera yang terkenal ganas ini berhasil ditaklukan oleh sebuah kapal yang terbuat dari kayu, Phinisi Nusantara. Meskipun pada awalnya misi pelayaran spektakuler ini banyak diragukan orang, tapi Capt. Gita Ardjakusuma beserta 11 orang awak kapalnya berhasil menyelesaikan tugas ini dengan baik. Rintangan pada jalur pelayaran yang terkenal berbahaya di Samudera Pasifik dapat diatasi dengan baik hingga Phinisi Nusantara merapat dengan selamat di Vancouver
(umber: http://dreamindonesia.wordpress.com/)




Orang Bugis Mendahului Inggris ke Australia


Dalam sejarah Indonesia, orang Bugis terkenal dengan kapal Pinisi telah menjelajah perairan di nusantara hingga ke Madagaskar di Afrika pada abad ke- 2, abad ke-4 dan abad ke-10.  Sedangkan pada masa Sriwijaya, orang Bugis juga berlayar hingga ke Australia dan Afrika lagi pada abad ke-17.
                                                  Orang Bugis Mendahului Inggris ke Australia


ang Bugis yang terkenal sejak dulu kala dipakai untuk menjelajah dunia. Pinisi buatan orang Bugis yang terkenal sejak dulu kala dipakai untuk menjelajah dunia.

foto-foto palembang dulu

   
   Ampera tahap pembangunan tahun 1962


                                                           

 http://lemabang.files.wordpress.com/2009/03/ampera.jpg?w=480
      Jl Tengkuruk Palembang 1965.





Jl. Jendral Sudirman 1930-1940





Kantor Pos Jl. Merdeka 1930-1940




Jembatan kertapati 1948




 http://lemabang.files.wordpress.com/2009/03/dempoweg-vanaf-jalan-segaran-te-palembang-circa-1935.jpg?w=480
Jl Segaran Palembang 1935.




http://lemabang.files.wordpress.com/2009/03/sekanak-rivier-te-palembang-circa-1935.jpg?w=480      
Sekanak, Palembang 1935.



terminal cinde


kertapati



mobil ketek.....angkot jaman duloe



 Gerbang benteng kuto besak  


 
 Kantor ledeng jaman dulu sekarang menjadi kantor walikota




 jantor Ledeng pada zaman dulu, lihat sungai tjengkuruk di depan kantor ini, sekarang sudah tidak ada
 simpang 26 ilirkantor Ledeng pada zaman dulu, lihat sungai tengkuruk di depan kantor ini, sekarang sudah tidak ada                                     














CAP GARPU DI MASYARAKAT PALEMBANG




                                                                                   

Di Palembang “Cap Garpu” sepertinya bukan merupakan barang yang aneh di karenakan mayarakat di Palembang sendiri sangat erat dengan namanya Cap Garpu. Cap Garpu merupakan jenis senjata tajam berbentuk pisau di mana dulunya pisau ini sering di pakai sehari-hari yang di selipkan di pinggang ataupun di kaos kaki dengan dalih untuk menjaga diri apalagi dulu terkenal sekali dengan “Tujah”, atau saat acara-acara panggung hiburan dan hajatan yang juga di kenal dengan “Sengol Basah”.

Dikenal dengan Cap Garpu di karenakan memang ada logo Garpu di badan pisau ini, dengan tulisan harder berwarna hitam tetapi untuk barang impor sendiri Logo dan tulisannya merupakan emboss tanpa warna.

Sebenrnya Cap Garpu Palembang ini mencontoh dari Harder Knife (Harder Solingen) yang notabene merupakan “Made In Jerman”, dimana pisau ini memiliki kisaran harga antara 300 sampai dengan 500 dollar amerika per satuannya, dan para chef di hotel-hotel ataupun resto besar dan ternama yang banyak menggunakan pisau jenis ini ataupun digunakan oleh para serdadu meliter di luar negeri dimana spesifikasi pisau ini terletak pada mata pisau yang tidak cepat rusak karena di buat dari baja putih pilihan , dan badan pisau yang sudah di lapisi dengan magnet, dan sebagai keamanan sarung pisau di buat dengan menggunakan kulit asli.

Di Sumatera Selatan sendiri banyak pengerajin (pandai besi) yang membuat Cap Garpu ini baik dengan kulitas rendah sampai dengan kualitas yang mendekati barang import, di pasar-pasar di kota Palembang banyak kita dapati penjual Cap Garpu ini dari kisaran 20 ribuan sampai dengan harga 300 ribuan. Seperti di kawasan Air hitam, ataupun di kawasan OKI lainnya, di mana Cap Garpu ini di buat dari besi biasa, plat ataupun yang paling bagus adalah dari per mobil Jip Willys.

Banyak ukuran dari Cap Garpu ini dari yang kecil (6 Dim = 16 Cm/ 6 Inchi) sampai ke paling besar yaitu 12 dan 16 Dim (12–16 Inchi), ukuran Dim (Dari kata Decimeter) sering di pakai, semakin besar pisau tersebut sepertinya akan semakin garanglah yang membawanya.





                                                                                         

Add caption
                                                                                     
Malahan ada beberapa orang di kota ini yang mengkeramatkan Cap Garpu ini agar tetap tajam saat di gunakan sehingga ada ritual seperti sesaji, yang di lakukan kepada Cap Garpu ini terutama saat malam Jumat, karena ada kepercayaan kalau Cap Garpu di rawat dengan sepenuh hati orang yang kebal sekalipun akan bisa di tembus oleh Cap Garpu ini.

Seperti salah satu adat di daerah Komering “Cap Garpu” ini di pakai dan harus ada saat melakukan lamaran ataupun akad nikah dan “Cap Garpu” nya pun tegolong bagus dengan kisaran harga 250 sampai 300 ribu.

Tetapi kebiasaan tersebut sekarang sudah banyak berkurang seiring dengan perkembangan zaman tradisi “TUJAH” sudah tidak di agungkan lagi apalagi dengan berlakunya perda mengenai sajam di Palembang, sehingga banyak para pembawa Cap Garpu ini merasakan dinginya hotel prodeo. Tetapi bagi sebagian orang Cap Garpu masih tetap memiliki pamor sendiri dengan dimana banyak yang hanya menjadi hiasan di rumah –rumah ataupun menjadi sarana untuk memasak dan keperluan lainnya. Tetapi sampai sekarang “Cap Garpu” tidak kehilangan pamornya di kota ini.
Cap Garpu & Silat
Di dalam silat sendiri "cap garpu" sering di pakai dalam latihan ataupun atraksi tertentu di mana bentuk yang mungil dari pisau ini merupakan senjata yang mematikan di bandingkan dengan golok karena pisau ini bisa di selipkan di bagian badan dan mudah untuk di ambil, tetapi saat latihan biasanya pisau yang di pakai adalah replika dari pisau cap garpu karena demi kemanan,.


Sumber : http://silatpalembang.multiply.com